MUNGKIN baru buku ini yang secara khusus berani menyenggol sisi gelap pesantren, kaitannya dengan kekerasan seksual. Minimnya kajian tentang isu ini di pesantren bukannya tanpa alasan. Salah satunya, sangat mungkin karena pesantren senantiasa dipersepsikan dekat dengan Nahdlatul Ulama, organisasi afiliasiku. Organisasi ini tidak hanya sangat besar namun, yang lebih penting, ia kini tengah menangguk spotlight panggung politik nasional serta dianggap sebagai dewa penyelamat bagi toleransi Indonesia. Terasa ada kerikuhan, kesungkanan, jika kekerasan seksual dalam pesantren terlalu diekspose ke luar. Aib harus ditutupi, bukannya malah diumbar. Ketimpangan relasi perempuan atas lelaki bukannya tidak disadari oleh kalangan internal pesantren. Mereka sangat sadar. Itu sebabnya kita perlu bergembira ria dengan munculnya gerakan, KUPI, misalnya. Singkatan dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia. Hanya saja, suara-suara tajam mengecam berbagai kasus kekerasan seksual di pesantren, dari kala
"Sekarang, mari kita main survei kecil-kecilan. Silahkan masuk mentimeter untuk ikut polling ini. Jangan Kuatir, identitas kalian terlindungi," ucapku di akhir presentasi pada peserta sekolah gender Korps HMI-Wati (KOHATI) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya di layar zoom, Sabtu (27/2/2021). Sejak awal aku sudah deg-degan memikirkan apa hasilnya nanti. Yang terlintas, mereka akan memilih apa yang aku kuatirkan. Survei ini sebenarnya merupakan post-test untuk melihat sejauhmana materi yang aku sampaikan mendarat dengan baik. Acara tadi tidak hanya diikuti anak KOHATI saja. Peserta umum bisa ikut bergabung. Namun aku tidak bisa mengindentifikasi satu per satu mereka. Kekuatiranku makin bertambah manakala aku hanya memiliki waktu terbatas untuk mempresentasikan gagasanku. Bagaimana mengharapkan perubahan besar dalam waktu singkat? Perubahan pemikiran seseorang biasanya berjalan gradual, evolutif, bukan revolutif. Rupanya kekuatiranku tak terbukti. Banyak dari mereka menja